LABUANBAJO, INTAINEWS.ID – Matahari terbit di ufuk timur, menyinari laut biru yang membentang tenang. Namun, di balik keindahan itu, tersembunyi realitas yang menyakitkan.
Pantai-pantai yang dulu ramai oleh tawa anak-anak, tempat nelayan menambatkan perahu, dan ibu-ibu menjemur hasil laut, kini sunyi.
Bukan karena alam murka, melainkan karena pagar besi dan tulisan “PRIVATE PROPERTY” yang berdiri tegak di setiap pintu masuk.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Labuan Bajo telah berubah. Lautan tak lagi bersahabat bagi warganya. Tanah yang dulunya bebas dijejak, kini diklaim sebagai milik perusahaan.
Investor asing berdatangan, membawa serta uang, rencana pembangunan, dan batas tak kasat mata yang perlahan-lahan memisahkan rakyat dari ruang hidup mereka.
Dulu, masyarakat lokal menyambut pembangunan pariwisata dengan penuh harapan.
Mereka membayangkan warung-warung kecil bermunculan di tepi pantai, kapal-kapal nelayan disulap menjadi tur wisata, dan anak-anak mereka menjadi pemandu profesional.
Namun, harapan itu perlahan tenggelam, bersama kapal-kapal tua yang kini tak lagi memiliki dermaga.
Pantai yang dulunya bebas diakses, kini dikelilingi tembok dan dijaga satpam berseragam.
Warga yang mencoba mendekat diusir dengan alasan “zona eksklusif resor.” Bahkan untuk sekadar menatap laut, kini harus membayar.
Kampung-kampung nelayan berubah menjadi bayang-bayang hotel mewah. Bau garam tergantikan aroma parfum mahal turis asing.
Suara mesin kapal tergantikan dentuman musik dari pesta pantai tertutup. Di balik tembok-tembok tinggi itu, masyarakat hanya bisa mendengar, tanpa pernah melihat.
Tak ada lagi anak-anak yang berlarian mengejar kepiting saat air surut. Tak ada lagi nelayan yang melaut saat fajar.
Tak ada lagi cerita rakyat yang diceritakan di pasir pantai saat senja. Yang tersisa hanyalah bayangan kehidupan yang dulu akrab, kini terasa asing.
Pemerintah menyebut ini “kemajuan”. Namun bagi warga, ini adalah penghapusan perlahan.
Mereka tidak diusir secara langsung, tapi disingkirkan secara sistematis dari ruang hidup mereka.
Labuan Bajo kini indah di dalam foto-foto promosi, tapi menyimpan luka yang tak terlihat di brosur wisata.
Surga yang dipromosikan dunia, telah berubah menjadi neraka diam-diam bagi penduduk aslinya.
Satu per satu, pasir, ombak, dan angin laut yang dulu milik bersama, kini dikuasai oleh mereka yang datang membawa dolar.
Dan pertanyaan paling menyakitkan kini terus bergema di benak warga, masihkah kami memiliki tempat di tanah kami sendiri?
Penulis : Johanes Bentah
Editor : NB