Kupang, NTT – Pulau Kera, sebuah permukiman nelayan kecil di wilayah Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), mendadak menjadi sorotan setelah pernyataan kontroversial Bupati Kupang, Yosef Lede, pada Rabu (16/4/2025), yang mengancam akan menggusur warga dengan aparat dan alat berat.
Pernyataan itu dilontarkan dalam pertemuan di Desa Pantulan, Kecamatan Semau, yang menjadi titik awal rencana relokasi warga Pulau Kera. Bupati Lede menyampaikan ancaman terbuka jika warga tak segera meninggalkan pulau tersebut.
“Beta akan bawah pasukan lima trek, beta akan bawah eksa dan beta akan garuk sampai rata,” ujar Lede dengan suara lantang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tak hanya menyebutkan penggunaan kekuatan, Lede juga mengklaim bahwa relokasi tersebut merupakan perintah langsung dari Presiden Republik Indonesia.
Namun, hingga berita ini diturunkan, belum ada dokumen resmi atau surat keputusan dari pemerintah pusat yang dapat menguatkan pernyataan tersebut.
“Ini perintah langsung presiden,” tegas Lede dalam pernyataan yang menggemparkan warga.
Warga Cemas dan Bingung
Ancaman tersebut langsung memicu kecemasan di kalangan warga Pulau Kera, yang selama puluhan tahun hidup dari hasil laut. Bagi mereka, Pulau Kera bukan sekadar tempat tinggal, tetapi bagian dari identitas dan sejarah hidup mereka.
Hamdan, Ketua RW 13 Pulau Kera, yang selama ini menjadi juru bicara warga, bahkan dituding sebagai provokator. Namun ia menolak anggapan tersebut.
“Kami ini rakyat akar rumput. Hidup dari laut. Tapi kami dipaksa memilih: tunduk atau terusir,” ujar Hamdan di hadapan aparat keamanan.
Warga mempertanyakan janji relokasi pemerintah, yang disebut-sebut akan memberikan tempat tinggal baru dengan fasilitas lebih baik. Mereka ragu, karena lokasi alternatif yang ditawarkan belum pernah disosialisasikan secara jelas, apalagi dikonsultasikan dengan masyarakat.
“Apakah tempat baru itu bisa menambat kapal kami? Bagaimana ombaknya saat musim barat? Apakah itu rumah, atau jebakan baru?” kata salah satu warga.
Ketegangan Memuncak
Ironisnya, saat mengatasnamakan negara, Bupati Kupang justru menyinggung peran Gubernur NTT.
“Coba perintah gubernur, katong masih telan ludah,” ucap Lede, menyiratkan dirinya tak lagi memedulikan struktur komando dalam pemerintahan daerah.
Sementara itu, sosialisasi relokasi yang dijanjikan belum juga terlaksana. Warga mengaku justru lebih dulu mendapat “sosialisasi” dalam bentuk ancaman langsung.
“Apakah kami warga negara asing?” tanya seorang ibu rumah tangga yang enggan disebutkan namanya. “Kami tinggal di sini sudah turun-temurun. Kenapa kami diperlakukan seperti ini?”
Belum Ada Klarifikasi Resmi
Hingga berita ini dirilis, belum ada penjelasan resmi dari Bupati Kupang maupun pihak pemerintah pusat terkait rencana relokasi maupun legalitas ancaman penggusuran tersebut.
Sementara itu, malam-malam di Pulau Kera kian sunyi. Bukan karena damai, tapi karena ketakutan. Warga menanti jawaban, atau mungkin perlawana ndari tanah yang mulai terasa asing, meski telah menjadi rumah sejak dahulu.
Penulis : Johanes J. Bentah