Lebaran rasanya belum lengkap tanpa ketupat tersaji di atas meja makan. Makanan khas ini menjadi ikon Hari Raya Idulfitri, disajikan bersama opor ayam, sambal goreng ati, rendang, hingga sayur lodeh. Namun, di balik kelezatannya, ketupat menyimpan filosofi yang dalam dan sarat makna.
Ketupat atau kupat bukan sekadar makanan. Dalam budaya Jawa, kata “kupat” adalah singkatan dari dua frasa penuh makna: Ngaku Lepat dan Laku Papat.
Ngaku lepat berarti mengakui kesalahan. Ini selaras dengan tradisi Lebaran yang identik dengan silaturahmi dan saling memaafkan. Sementara itu, Laku Papat memiliki dua dimensi: lahir dan batin.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Empat laku lahir tersebut yaitu takbir, zakat, salat Id, dan silaturahmi. Sedangkan empat laku batin yang dijelaskan oleh Dr. Fahruddin Faiz, dosen Aqidah Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, terdiri dari Lebaran, Luberan, Leburan, dan Laburan.
“Lebaran berarti tuntasnya amal ibadah setelah puasa Ramadan. Jika sudah tuntas hubungan vertikal, saatnya membina hubungan sosial,” kata Dr. Fahruddin.
Luberan bermakna melimpah, yakni ajakan untuk berbagi melalui zakat dan sedekah. Lalu, Leburan bermakna melebur dosa dengan saling memaafkan. Dan puncaknya, Laburan—yang berarti penyucian diri sebagai simbol hati yang kembali bersih.
Dengan demikian, ketupat tak hanya menjadi sajian pelengkap Lebaran, tetapi juga simbol spiritual yang mencerminkan esensi Idulfitri: kembali fitri, suci lahir dan batin.
Penulis : IB