GORONTALO – Sejumlah nelayan di Provinsi Gorontalo yang tergabung dalam Asosiasi Nelayan Provinsi Gorontalo (HNSI) menyatakan sikap tegas menolak kebijakan pembatasan rompong yang diterapkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Kebijakan tersebut dianggap tidak pro-rakyat dan sangat merugikan nelayan kecil yang selama ini bergantung pada rompong sebagai alat bantu utama dalam menangkap ikan.
Ketua HNSI, Sarlis Mantu, menilai aturan ini dibuat tanpa mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat nelayan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ia menegaskan bahwa kebijakan tersebut justru memperparah kesulitan yang dihadapi nelayan kecil.
“Aturan ini sangat tidak pro-rakyat. Nelayan kecil seperti kami yang hidup dari rompong akan semakin terjepit. Kami siap melawan aturan ini demi mempertahankan hak dan mata pencaharian kami,” ujar Sarlis dalam pertemuan kilat yang diadakan di Warkop Amal, Kota Gorontalo, pada Jumat (14/2/2025).
Muhlis Panai Siap Perjuangkan hingga ke pemerintah pusat
Dukungan datang dari Muhlis Panai, Ketua Asosiasi Nelayan Kabupaten Gorontalo yang juga anggota DPRD Kabupaten Gorontalo. Muhlis berjanji akan memperjuangkan aspirasi nelayan di tingkat legislatif dan mendorong revisi kebijakan tersebut.
“Saya sepakat dengan perjuangan ini. Aspirasi nelayan harus diperjuangkan. Kebijakan ini perlu direvisi karena tidak sesuai dengan kondisi di lapangan. Saya akan membawa isu ini ke DPRD dan memastikan suara nelayan sampai ke pemerintah pusat,” ujar Muhlis.
Hengki Maliki: Siap Kawal hingga Tingkat Nasional
Sementara itu, Hengki Maliki, Ketua LSM Provinsi Gorontalo, menyatakan pihaknya akan mengawal aspirasi nelayan hingga ke tingkat nasional. Ia menilai kebijakan KKP ini tidak dilandasi kajian yang mendalam dan cenderung dipaksakan.
“Kementerian Kelautan dan Perikanan seharusnya melakukan pendataan dan sosialisasi terlebih dahulu. Kebijakan seperti ini tidak boleh dibuat sepihak tanpa dialog dengan nelayan. Bagaimana mungkin rompong yang telah ada sejak 2004 dan pajaknya sudah dibayar tiba-tiba dianggap ilegal?” tegas Hengki.
Hengki juga menambahkan bahwa aksi damai akan digelar di Kantor Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Gorontalo untuk menyampaikan tuntutan mereka. Selain itu, mereka berencana membawa keluhan ini ke Komisi IV DPR RI yang membidangi perikanan dan kelautan.
Kebijakan yang menjadi sorotan adalah Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) No. 18 Tahun 2021 tentang Alat Penangkapan Ikan. Dalam peraturan ini, rompong yang tidak memenuhi standar atau berada di luar zona yang ditetapkan dianggap ilegal dan harus ditertibkan.
Aturan tersebut bertujuan menjaga kelestarian sumber daya laut dan mencegah eksploitasi berlebih.
Namun, nelayan menilai bahwa kebijakan tersebut tidak mempertimbangkan karakteristik lokal dan kondisi sosial-ekonomi mereka. Pasal 7 Ayat 1 dalam Permen KP No. 18 Tahun 2021 menyebutkan bahwa penggunaan alat tangkap harus sesuai dengan standar yang ditetapkan, tetapi tidak memberikan solusi konkret bagi nelayan tradisional.
UU No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam sebenarnya mengamanatkan pemerintah untuk memberikan perlindungan dan bantuan kepada nelayan kecil. Dalam Pasal 15 UU tersebut, disebutkan bahwa pemerintah wajib memberikan sarana dan prasarana yang memadai bagi nelayan agar mereka bisa tetap melaut tanpa terbebani aturan yang tidak adil.
“Aturan ini justru melanggar prinsip perlindungan yang diatur dalam undang-undang. Pemerintah seharusnya hadir memberikan solusi, bukan membebani nelayan dengan regulasi yang sulit diterapkan,” kata Muhlis.
Dampak Sosial dan Ekonomi
Jika kebijakan ini diterapkan tanpa revisi, para nelayan memperkirakan dampak sosial dan ekonomi yang cukup serius. Ribuan nelayan di Provinsi Gorontalo berisiko kehilangan sumber penghasilan utama mereka.
Sarlis Mantu menjelaskan bahwa sejak rompong digunakan pada tahun 2004, nelayan mampu meningkatkan hasil tangkapan dan stabilitas ekonomi keluarga.
“Jika rompong dihapuskan, bagaimana kami bisa bertahan? Rompong telah menjadi bagian penting dari kehidupan kami,” keluh salah satu nelayan di Kabupaten Gorontalo.
Sektor ekonomi lainnya, seperti perdagangan ikan di pasar lokal, juga akan terdampak. Pasokan ikan yang menurun akan mempengaruhi harga ikan, sehingga merugikan pedagang dan konsumen.
Tuntutan Nelayan
Para nelayan menyampaikan sejumlah tuntutan kepada pemerintah:
1. Revisi Permen KP No. 18 Tahun 2021 dengan mempertimbangkan kondisi lokal.
2. Sosialisasi dan dialog terbuka dengan nelayan sebelum penerapan aturan.
3. Pendataan ulang rompong yang sudah ada dan legalisasi yang memenuhi syarat.
4. Pemberian bantuan atau subsidi bagi nelayan yang terdampak kebijakan tersebut.
Dalam waktu dekat, nelayan bersama LSM akan melakukan aksi damai di Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Gorontalo. Mereka juga akan menyiapkan petisi dan delegasi untuk bertemu langsung dengan perwakilan KKP di Jakarta.
“Kami berharap pemerintah segera merespons dan membuka ruang dialog. Kebijakan harus berpihak pada kesejahteraan rakyat, bukan sebaliknya,” tutup Sarlis.
Dengan perjuangan yang terus berlanjut, para nelayan Gorontalo berharap pemerintah bisa mengedepankan keadilan sosial dan menciptakan kebijakan yang benar-benar berpihak pada rakyat.
Di tengah upaya pelestarian lingkungan, kesejahteraan masyarakat kecil harus tetap menjadi prioritas utama.
Penulis : TB