Oleh: Zoel Nasti*
Siapa yang harus bertanggung jawab atas derita masyarakat ketika program pemerintah berhenti di tengah jalan? Pertanyaan ini kembali relevan saat kita mencermati nasib Universal Health Coverage (UHC). Program yang dirancang untuk memberikan akses kesehatan gratis ini justru berbalik menjadi beban baru bagi banyak daerah dan masyarakat.
Di Pasaman Barat, misalnya, pemerintah daerah secara resmi menghentikan layanan kesehatan gratis mulai 1 Januari 2025. Ironisnya, kebijakan ini meninggalkan masyarakat dalam kebingungan. Sebelum UHC diterapkan, banyak warga yang rutin membayar iuran BPJS mandiri. Namun, sejak layanan kesehatan dinyatakan “gratis”, banyak yang menghentikan pembayaran. Saat program UHC dihentikan, mereka mendapati diri terjebak dalam tunggakan iuran yang menghalangi akses layanan kesehatan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Fakta ini memunculkan pertanyaan besar: apakah ada kajian komprehensif sebelum program seperti UHC diluncurkan? Apakah pemerintah memikirkan dampak jangka panjang bagi rakyat yang menjadi sasaran kebijakan ini?
Dikotomi antara “gratis politik” dan “gratis program” menjadi semakin nyata. Jika layanan kesehatan gratis hanya menjadi alat politik, maka program ini pasti berakhir seiring pergantian pemimpin. Sebaliknya, jika pemimpin sungguh peduli pada kesejahteraan rakyat, maka kebijakan seperti UHC harus dilandasi regulasi yang kokoh dan berkelanjutan.
Masalah ini menunjukkan bahwa program untuk rakyat tidak boleh bersifat sementara atau bergantung pada masa jabatan tertentu. Pemimpin yang visioner harus memastikan kebijakan publik berjalan dalam jangka panjang, tanpa terkendala oleh dinamika politik. Inilah yang seharusnya menjadi inti dari kesejahteraan rakyat: keberlanjutan, bukan sekadar simbol.
Siapapun pemimpinnya, masyarakat berhak merasakan manfaat nyata dari kebijakan yang dijalankan. Semoga pemimpin Pasaman Barat yang baru nantinya bisa memastikan bahwa setiap program tidak hanya menjadi janji politik, tetapi juga solusi untuk mewujudkan keadilan sosial. Jika tidak, kita hanya akan terus berada di depan pintu gerbang kemerdekaan, tanpa pernah benar-benar masuk ke dalamnya.
*Penulis merupakan Wartawan senior di Pasaman Barat.
Editor : Wawan S