Mantan Presiden Suriah, Bassar Al Assad.
SURIAH- Setelah jatuhnya rezim Bashar al-Assad, dunia dikejutkan dengan penemuan lebih dari 100.000 mayat di kuburan massal yang tersebar di Suriah. Salah satu situs terbesar ditemukan di al-Qutayfah, sekitar 25 mil di utara Damaskus. Para korban diduga menjadi sasaran penyiksaan brutal dan eksekusi sistematis selama konflik yang berlangsung lebih dari satu dekade.
Mouaz Moustafa, Direktur Eksekutif Syrian Emergency Task Force (SETF), menyebut penemuan ini sebagai bukti nyata dari kekejaman sistematis. “Kuburan massal ini adalah pengingat mengerikan tentang bagaimana rezim Assad mengoperasikan ‘mesin kematian’. Ribuan korban dibantai tanpa perikemanusiaan, dan dunia harus mengambil tindakan untuk keadilan,” katanya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut laporan organisasi hak asasi manusia, para korban dikuburkan menggunakan buldoser untuk memadatkan jasad-jasad di satu lokasi. Banyak dari mereka dilaporkan mengalami penyiksaan berat sebelum dieksekusi. “Ini adalah kejahatan perang yang paling mencolok. Setiap korban memiliki cerita yang hilang, keluarga yang hancur, dan harapan yang direnggut,” ujar seorang penyelidik yang terlibat dalam pengungkapan kasus ini.
Jaksa penuntut kejahatan perang internasional, yang enggan disebutkan namanya, menyatakan pentingnya langkah cepat untuk penyelidikan. “Kami memiliki bukti kuat. Setiap pelaku harus diadili di pengadilan internasional. Dunia harus menyampaikan pesan tegas bahwa kejahatan seperti ini tidak akan pernah ditoleransi,” katanya.
Konflik Suriah, yang dimulai pada 2011, telah menewaskan ratusan ribu orang dan membuat jutaan lainnya mengungsi. Penemuan kuburan massal ini menambah catatan kelam dalam sejarah perang tersebut.
“Setiap nyawa yang hilang adalah tragedi besar. Kita harus memastikan bahwa mereka yang bertanggung jawab membayar kejahatan mereka, sehingga tragedi ini tak terulang,” tutup Moustafa.
Dunia kini menanti langkah konkret untuk menuntut keadilan bagi para korban dan memastikan tragedi ini menjadi pelajaran bagi generasi mendatang.***
Penulis : Wawan S
Sumber Berita : New York Post